Simalungun – Kasus penyerobotan lahan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, Sumatera Utara, yang dikelola oleh PT Palmco PTPN IV, kini tengah menjadi sorotan publik. Kawasan seluas 2.000 hektar, yang seharusnya dioptimalkan untuk pengembangan industri strategis di bawah pengelolaan PT Kawasan Industri Nusantara (KINRA), diduga telah digarap oleh Koperasi Forum Komunikasi Purnakarya Perkebunan Nusantara (FKPPN) untuk program ketahanan pangan tanpa izin yang jelas.
Koperasi FKPPN diketahui telah menduduki dan mengelola lahan di area industri KEK Sei Mangkei yang seharusnya berfungsi untuk pengembangan infrastruktur dan industri penting. Program ketahanan pangan yang mereka inisiasi, yang fokus pada budidaya palawija dan ubi kayu, dituding bukan untuk kepentingan masyarakat umum, melainkan untuk keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPW KAMPUD Sumatera Utara, Mhd. Aliaman H. Sinaga, SH, yang mempertanyakan legalitas program tersebut.
Sejarah dan Status KEK Sei Mangkei
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, yang dikelola oleh PTPN III dan kemudian oleh Palmco PTPN IV Regional I, merupakan wilayah strategis yang diperuntukkan bagi pengembangan industri dan perdagangan, baik untuk investor lokal maupun internasional. Berdasarkan SK Bupati Simalungun No.188.45/193/Bppd tahun 2013 dan SK Kepala BPN RI No. 27/HPL/BPN RI tahun 2014, lahan seluas 1.933,80 hektar dialokasikan sebagai kawasan industri yang memiliki potensi besar dalam menarik investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Namun, sejak beberapa waktu terakhir, pengelolaan dan pemasaran lahan ini oleh PT Kawasan Industri Nusantara (KINRA) dinilai tidak berjalan optimal, sehingga menimbulkan berbagai persoalan sosial dan ekonomi. Lahan yang seharusnya dikelola secara profesional untuk menarik investor malah menjadi area sengketa yang melibatkan Koperasi FKPPN.
Penyerobotan dan Polemik di Masyarakat
Penyerobotan lahan industri oleh Koperasi FKPPN menimbulkan keresahan di masyarakat. FKPPN, melalui program ketahanan pangan palawija ubi kayu, telah menguasai ratusan hektar lahan yang seharusnya digunakan untuk pengembangan industri di KEK Sei Mangkei. Ketua DPW KAMPUD Sumut menyatakan bahwa program ini diduga hanya menguntungkan segelintir pihak dan bukan untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Mhd. Aliaman H. Sinaga mengungkapkan kekecewaannya atas tindakan Koperasi FKPPN, yang menurutnya, tidak memiliki dasar legalitas yang kuat dalam mengelola lahan tersebut. Ia menyatakan bahwa program tersebut seolah-olah didesain hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa memberikan manfaat nyata bagi warga sekitar.
Persoalan Legalitas dan Surat Pemberian Izin
Salah satu poin utama yang menjadi perhatian adalah surat izin yang diduga dikeluarkan oleh Holding PTPN untuk Koperasi FKPPN. Surat tersebut, dengan nomor DMAS/X/454/2024, memberikan izin penggunaan sementara untuk lahan zona hijau dalam rangka program ketahanan pangan. Namun, Koperasi FKPPN malah mengelola lahan industri di KEK Sei Mangkei, yang seharusnya berada di bawah kewenangan PT Kawasan Industri Nusantara (KINRA).
Manajemen KINRA sendiri menyatakan bahwa mereka tidak pernah memberikan izin atau persetujuan kepada FKPPN untuk mengelola lahan industri tersebut. Menurut KINRA, surat dari Holding PTPN hanya mengatur penggunaan sementara untuk lahan zona hijau, bukan lahan industri. Namun, FKPPN tetap menduduki dan mengelola lahan di luar ketentuan, yang akhirnya menimbulkan polemik di kalangan masyarakat dan berbagai pihak terkait.
Dalam pertemuan yang melibatkan pihak manajemen KINRA, Ketua DPW KAMPUD, dan media, KINRA menegaskan bahwa mereka tidak mengetahui adanya pengelolaan lahan industri untuk program ketahanan pangan tersebut. Hal ini menambah kerancuan mengenai siapa sebenarnya yang memberikan izin kepada FKPPN untuk melakukan aktivitas di lahan industri KEK Sei Mangkei.
Langkah DPW KAMPUD Sumut dan Tuntutan Klarifikasi
Menyikapi dugaan penyerobotan lahan ini, DPW KAMPUD Sumatera Utara telah mengambil langkah-langkah untuk meminta klarifikasi dari berbagai pihak terkait. Mereka telah mengirim surat kepada Kementerian BUMN, Direktur PTPN III, Direktur Holding PTPN, dan Direktur PT Kawasan Industri Nusantara (KINRA). Surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden RI dan instansi lainnya, untuk meminta penjelasan mengenai legalitas pengelolaan lahan yang dilakukan oleh Koperasi FKPPN.
DPW KAMPUD mengacu pada Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mengatur hak masyarakat untuk mengetahui informasi terkait kebijakan publik, termasuk dalam hal ini penggunaan dan pengelolaan lahan negara. Mereka mendesak agar pihak-pihak terkait memberikan jawaban mengenai siapa yang memberikan kewenangan kepada FKPPN untuk mengelola lahan di KEK Sei Mangkei.
Tindak Lanjut dan Konfirmasi
Hingga berita ini dipublikasikan, pihak-pihak terkait, termasuk FKPPN dan manajemen PTPN, belum memberikan konfirmasi lebih lanjut terkait tudingan penyerobotan lahan. Meskipun demikian, media dan pihak DPW KAMPUD berjanji untuk terus menelusuri masalah ini dan meminta klarifikasi dari semua pihak yang terlibat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa lahan industri di KEK Sei Mangkei dapat dikelola sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan ekonomi nasional.
Kasus penyerobotan lahan industri oleh Koperasi FKPPN di KEK Sei Mangkei menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan legalitas pengelolaan lahan. Dengan adanya polemik ini, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui siapa yang memberikan izin kepada FKPPN dan apa dampaknya bagi pengembangan kawasan industri tersebut. Pertanyaan besar yang kini muncul: apakah lahan industri strategis ini akan kembali ke fungsi aslinya, atau justru terjebak dalam sengketa yang berkepanjangan?