Dinas Pendidikan Kota Mataram baru-baru ini menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait penunjukan kepala sekolah. Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram, Yusuf, menyebutkan bahwa kebijakan ini telah menyebabkan kekosongan 15 jabatan kepala sekolah di wilayahnya, yang berdampak pada efektifitas pengelolaan sekolah. Kekosongan jabatan ini dikarenakan adanya peraturan yang menetapkan bahwa calon kepala sekolah harus berasal dari guru penggerak.
“Peraturan Mendikbudristek saat ini mewajibkan pengangkatan kepala sekolah yang berasal dari guru penggerak. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang seharusnya memberikan keleluasaan bagi kabupaten atau kota untuk mengatur kebutuhannya sendiri, termasuk dalam penunjukan kepala sekolah,” jelas Yusuf dengan nada tegas. Ia menambahkan bahwa kebijakan tersebut terkesan membatasi otoritas daerah dalam menentukan figur pemimpin yang dianggap paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing sekolah.
Ketentuan Penunjukan Guru Penggerak: Keterbatasan atau Peluang?
Sistem Kemendikbudristek menetapkan bahwa calon kepala sekolah yang memenuhi syarat berasal dari program guru penggerak, yang namanya telah dicantumkan dalam daftar resmi pemerintah pusat. Kondisi ini membuat kabupaten atau kota harus mematuhi daftar yang telah ditentukan, sehingga pihak daerah tidak memiliki wewenang penuh untuk menentukan calon kepala sekolah yang terbaik menurut pertimbangan profesional dan kebutuhan sekolah.
Di lapangan, sekolah yang memiliki kinerja baik diharapkan dipimpin oleh kepala sekolah yang memiliki kualitas dan pengalaman yang mumpuni. Namun, kenyataannya sebagian besar guru penggerak yang memenuhi kriteria tersebut adalah guru-guru muda yang dinilai oleh Yusuf kurang memiliki pengalaman yang cukup untuk menangani kompleksitas manajemen sekolah besar.
Dampak Kekosongan Kepala Sekolah di Kota Mataram
Sejak awal tahun 2024, tercatat ada 15 jabatan kepala sekolah yang masih kosong di Kota Mataram. Kondisi ini berpotensi bertambah parah, mengingat di bulan Desember mendatang terdapat dua kepala sekolah yang akan memasuki masa pensiun. “Sampai sekarang SDN 6 Mataram masih kosong kepala sekolahnya,” ungkap Yusuf, merujuk pada salah satu sekolah yang terkena dampak dari kekosongan jabatan ini.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa dampak kekosongan kepala sekolah sejauh ini tidak begitu signifikan terhadap administrasi dan proses belajar mengajar. Hal ini dikarenakan adanya pelaksana tugas (Plt) kepala sekolah yang diangkat untuk sementara. Namun, Yusuf menekankan bahwa Plt tetap berbeda dengan kepala sekolah definitif, terutama dalam hal kematangan dalam menghadapi permasalahan yang mungkin muncul dalam pengelolaan sekolah.
Menurut Yusuf, kepala sekolah yang berpengalaman memiliki kelebihan dalam berkomunikasi dengan masyarakat, menyelesaikan konflik, dan menghadapi permasalahan secara matang. “Ini yang sulit kami dapatkan jika hanya mengandalkan guru penggerak yang notabene masih muda dan belum berpengalaman luas,” tambahnya.
Harapan untuk Menteri Pendidikan yang Baru
Dengan bergantinya era kepemimpinan di pemerintahan, Yusuf berharap agar Menteri Pendidikan yang baru di era Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dapat mempertimbangkan untuk meninjau ulang kebijakan terkait penunjukan kepala sekolah. “Kami sangat berharap ada perubahan pada peraturan menteri yang mengatur tentang penunjukan kepala sekolah ini,” ujarnya dengan penuh harap.
Yusuf juga menambahkan bahwa perubahan tersebut penting demi menjamin kualitas pendidikan yang merata di berbagai daerah. “Dengan memberikan wewenang lebih kepada daerah, kami dapat menunjuk figur pemimpin yang benar-benar kami anggap tepat untuk mengelola sekolah, bukan sekadar karena syarat administratif semata,” jelasnya.
Tantangan Implementasi Otonomi Daerah dalam Pendidikan
Lebih jauh, Yusuf menyoroti bahwa kebijakan Kemendikbudristek ini seakan-akan tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang seharusnya memberikan fleksibilitas bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan pendidikan di wilayahnya. Menurutnya, otonomi daerah seharusnya memberikan ruang kepada setiap kabupaten dan kota untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan spesifik daerah masing-masing, termasuk dalam penunjukan kepala sekolah.
Kritik ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak daerah dalam mengimplementasikan kebijakan pusat, terutama dalam hal pendidikan. Di satu sisi, pemerintah pusat berupaya menciptakan standar kualitas dengan program guru penggerak, tetapi di sisi lain, daerah merasa kehilangan kendali atas kebijakan yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Dalam pandangan Yusuf, ada baiknya pemerintah pusat membuka dialog dengan pemerintah daerah agar kebijakan-kebijakan pendidikan dapat lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. “Jika kita terus mengikuti kebijakan yang tidak fleksibel, pada akhirnya yang akan dirugikan adalah para siswa yang seharusnya mendapat pendidikan terbaik dari sekolah yang dikelola dengan optimal,” tegasnya.
Akankah Ada Perubahan di Era Kepemimpinan Baru?
Pertanyaan ini menjadi sorotan banyak pihak yang berharap adanya perubahan kebijakan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Apakah menteri pendidikan yang baru akan membuka ruang dialog dengan daerah dan mendengarkan keluhan-keluhan seperti yang disampaikan oleh Yusuf dan dinas pendidikan lainnya? Ataukah justru kebijakan guru penggerak akan semakin diperketat?
Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram berharap agar pemerintah pusat mau mempertimbangkan fleksibilitas dalam kebijakan pengangkatan kepala sekolah. Menurutnya, hanya dengan adanya kebijakan yang fleksibel, tujuan pendidikan berkualitas dan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia dapat tercapai.